Posisi nilai tukar petani sawit dan petani apapun di Indonesia sangat rendah karena masih suka dan nyaman bahkan teguh dengan sikap sok-sokan "individualis", bertolak belakang dengan praktek nenek moyang bangsa ini bahkan sudah jauh meninggalkan praktek "gotong royong dan sapu lidi"
Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor bahan baku minyak goreng mulai Kamis (28/4). Kebijakan ini berlaku hingga batas waktu yang belum ditentukan. Bahan baku yang dimaksud adalah refined, bleached, deodorized (RBD) Olein, produk hasil rafinasi dan fraksinasi Crude Palm Oil ( CPO )
Isu larangan ekspor ini menggelinding cepat, mirip dengan tandan buah sawit yang di panen dari pohonnya dijatuhkan dengan dentuman keras ke bumi. Tak tanggung tanggung belum pernah selama 20 tahun ini, harga tandan buah sawit anjlok dari diatas Rp 3000/kg, dalam 4 hari ini, Senen 25 April 2022 harga tandan buah sawit jam 9 pagi sudah anjlok di tingkat petani diangka Rp 1000, -/kg.
Petani rakyat yang jumlahnya 2, 6 juta KK dengan luas 6, 8 juta ha (41%) dari total luas sawit Indonesia 16, 38 juta ha, tentu saja sangat terguncang, pupuk dan herbisida hampir satu tahun belakangan ini sudah naik 150%, menjelang lebaran pula. Bisa saja terjadi keributan sosial yang serius dan meluas.
Bahkan sudah banyak para penampung sawit rakyat tidak lagi menerima tandan buah sawit rakyat karena harga yang terus jatuh.
Selaku pengepul dan vendor dari Pabrik Kelapa sawit isu stop ekspor CPO ini ditingkatan harga petani sawit sangat liar, jatuhnya harga menjadi sangat beresiko, tentu saja pengepul tidak mau rugi.
Sudah mulai banyak Pabrik Kelapa Sawit dengan segala caranya mulai tidak mau membeli sawitnya petani. Bisnis beli tandan buah sawit petani sekarang sangat beresiko, buat apa beli sawiit lalu diproses jadi CPO (minyak mentah sawit) kalau tidak bisa dijual karena pasar para pabrik kelapa sawit ini ekspor juga.
Kebijakan tersebut akan berpotensi mematikan usaha petani sawit 2, 6 juta KK Ini berdampak keributan sosial yang serius dan meluas.
Baca juga:
R. Kholis Majdi: HTI Tidak Berpolitik!
|
Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arif dalam keterangan tertulisnya pada Kamis, 10 Maret 2022 mencatat ekspor produk sawit sekitar 40, 31 juta ton dengan nilai sebesar US$ 35, 79 miliar pada tahun 2021.
Febri juga mengatakan Sektor padat karya pada industri pengolahan sawit telah menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 4, 20 juta orang dan pekerja tidak langsung hingga 12 juta orang.
Bank akan banyak yang macet di industri sawit. Akan terbentuk kemiskinan jumlah massal akibat PHK. Kebun sawit dan PKS banyak terbengkalai. Karena selama ini 30 juta ton CPO/tahun pasarnya ekspor.
Apakah isu liar dan anjloknya harga sawit ini bisa menyadarkan perlunya persatuan petani sawit? Rasanya sulit karena mental dasar petani kita memang dididik dan di skenario kan hanya menjadi petani penjual bahan mentah saja.
Dinas pertanian, dinas koperasi memang faktanya minim keberhasilan nya untuk membuat wadah para petani di negeri ini. Malah kadang latah ikut menjadi kaki tangan menjual produk produk pabrikan yang ditawarkan ke petani sehingga ketergantungan petani semakin dalam.
Momentum ambrol dan jatuhnya harga sawit ini sayang sekali belum di respon dengan baik oleh pemerintah, oleh kementrian pertanian dan kementerian koperasi dengan kampanye pembentukan wadah persatuan para petani sawit. Atau memang sengaja dibiarkan karena sudah tidak mampu menghadapi hegemoni dominasi kekuatan para konglomerat / korporasi sawit yang menguasai sistem dan siklus bisnis sawit dari hulu sampai hilir ( swasta menguasai 62% perkebunan sawit )
Harapan kita bersama, persatuan dan wadah petani sawit mampu menjadi penentu kebijakan bisnis sawit agar tidak selalu rentan dalam penentuan kebijakan dan anjloknya harga sawit.
Opini : Sahat Mangapul Hutabarat ( Kepala Laboratorium Kedaulatan Pangan Agribisnis Kerakyatan Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia) unit Riau